EnglishIndonesian

Sejarah Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro

Biografi BPH Diponegoro

1785 – 1855

Lahir pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas (RM) Mustahar/Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Setelah ayahnya dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) III, BRM Ontowiryo mendapat gelar Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro.

Selaku putra sulung dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Raden Ayu (R.Ay) Mangkarawati, BPH Diponegoro tumbuh menjadi seorang pangeran yang disegani oleh berbagai pihak. Tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan Agama Islam, beliau juga piawai dalam mengelola tata pemerintahan, ilmu sastra, ahli pertanian/perkebunan dan tentunya ilmu gladi keprajuritan.

Penyebab de Java Oorlog (Perang Jawa), bukan hanya sekedar reaksi terhadap provokasi Belanda dan Patih Danurejo III (Raden Tumenggung Sumodipuro dari Japan) atas pemancangan patok jalan yang sengaja dibelokkan melalui Puri Tegalrejo, kediaman Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipaten (GKR Tegalrejo/Ratu Ageng, permaisuri Sri Sultan HB I sekaligus nenek buyut BPH Diponegoro), namun di dalamnya terkandung aktualisasi dari semangat, cita-cita suci dan bersatunya BPH Diponegoro, alim ulama, 37 (tiga puluh tujuh) pangeran Trah Hamengku Buwono (HB) dan rakyat Jawa untuk menegakkan tatanan Islam melawan penindasan, ketidakadilan dan campur tangan Belanda yang telah menodai Kasultanan Yogyakarta.

Ketika akumulasi konflik antara BPH Diponegoro, Belanda dan Patih Danurejo III tak terbendung,
tepat pada tanggal 20 Juli 1825, pasukan Belanda menyerang dan meluluhlantakkan Puri
Tegalrejo. Oleh sebab itu, BPH Diponegoro dan pengikutnya terpaksa menyingkir ke Goa
Selarong, Bantul, Yogyakarta. Peristiwa penyerbuan Puri Tegalrejo tersebut merupakan titik
awal berkobarnya Perang Jawa (1825 – 1830). Untuk memudahkan rantai komando,
dikarenakan seorang pangeran tidak berwenang memberikan perintah kepada pangeran
lainnya, berdasarkan kesepakatan bersama maka BPH Diponegoro diangkat menjadi pimpinan
tertinggi dengan gelar Ingkang Jumeneng Kangjeng Sultan Ngabdul Chamid Herucakra Kabirul
Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifah Rasulullah SAW ing Tanah Jawi.

Begitu dahsyatnya perlawanan yang dilakukan BPH Diponegoro dan rakyat Jawa sehingga membuat bangkrut keuangan Pemerintah Hindia Belanda, seperempat dari wilayah Pulau Jawa terdampak langsung atas kerusakan berat akibat perang dan setengah dari populasi rakyat Jawa menjadi korban jiwa.

Dengan menerapkan struktur militer Turki Ustmani, seperti nama-nama pasukan Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Nasseran, dan diperkuat oleh Pasukan Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang, berikut hierarki kepangkatannya, seperti Alibasah (setara komandan divisi), Basah (setara komandan brigade), Dullah (setara komandan batalion), dan Seh (setara komandan kompi) melawan Belanda, perang ini telah merenggut nyawa 200.000 jiwa rakyat Jawa, 8.000 tentara Belanda dari Eropa dan 7.000 serdadu Londo Ireng (pribumi yang berpihak kepada Belanda) dan berimbas pada kerugian keuangan Pemerintah Belanda yang mencapai +/- 20 juta Gulden.

Setelah mengalami pahit getirnya perjuangan selama hampir 5 tahun, berikut dampak kerusakan yang ditimbulkan dari de Java Oorlog yang luar biasa, akhirnya takdir mengantar BPH Diponegoro menuju senja kala perjuangan rakyat Mataram. Seolah berkejar dengan waktu dan kondisi keuangan yang mengkhawatirkan, dengan segala cara, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-43, Johannes Graaf van den Bosch dan Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock berusaha keras untuk memenangkan perang Jawa. Setelah menggelar pertemuan antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-42 Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen dan Jenderal de Kock di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Batavia, de Kock berinisiatif untuk mengundang BPH Diponegoro dalam sebuah pertemuan di Wisma Residen Kedu, Magelang.

Sembari menunggu kedatangan Jenderal De Kock dari Batavia, pada Tanggal 20 Februari 1830 Kolonel Cleerens melakukan inisiasi pertemuan dengan BPH Diponegoro di Desa Remo Kamal, Bagelen (Purworejo, Jawa Tengah). Cleerens menyampaikan usulan agar BPH Diponegoro dan pengikutnya berkenan menunggu kehadiran Jenderal De Kock di daerah Metesih. Pada tanggal 28 Maret 1830 yang bertepatan dengan 2 Syawal 1245 H, melalui sebuah kamuflase perundingan, dalam suasana keceriaan lebaran, BPH Diponegoro dikhianati, dijebak dan ditangkap Belanda untuk kemudian diasingkan dari Bumi Mataram. Pada hari yang sama, beliau langsung diamankan ke Benteng Williem II di Ungaran, Jawa Tengah, kemudian penahanan diteruskan di Gedung Karesidenan Semarang.

Surya ke 5 di Bulan April 1830, dengan menggunakan Kapal Pollux penahanan BPH Diponegoro dilanjutkan menuju Batavia. Sesampainya di Batavia pada tanggal 11 April 1830, beliau ditawan di Gedung Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Tanggal 30 April 1830, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch memutuskan bahwa Pangeran Diponegoro beserta salah satu istrinya, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana berikut istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan diasingkan ke Manado.

Pada tanggal 3 Mei 1830, Sang Pangeran dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux menuju Manado dan ditempatkan di Benteng Fort Nieuw Amsterdam. Selama dalam pengasingannya di Manado, Pangeran Diponegoro memulai penulisan sebuah karya sastra Babad Diponegoro, sebuah buku otobiografi bertuliskan aksara Arab Pegon yang berisi nilai-nilai filosofi Islam, sejarah tanah Jawa, kisah hidup BPH Diponegoro, dan lain-lain.

Atas Babad Diponegoro tersebut, pada tanggal 18 Juni 2013, United Nations melalui UNESCO mengakui dan telah mengukuhkan Babad Diponegoro sebagai Internasional Memory Of the World (MoW) sebagaimana Nagarakertagama pada tahun 2008 dan La Galigo pada tahun 2011. 

Dengan mempertimbangkan berbagai alasan dan kepentingan, pada tahun 1834, beliau beserta keluarga dan sejumlah laskarnya yang setia dipindahkan Belanda ke Benteng Rotterdam di Makasar.

Tepat pada tanggal 8 Januari 1855, dalam usia 69 tahun, BPH Diponegoro, Sang Pemimpin tertinggi Perang Jawa telah berpulang ke Rahmatullah. Tunai sudah janji bakti beliau mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Untuk mengenang jasa, perjuangan dan pengorbanan Pangeran Diponegoro, pada tanggal 8 Januari 1955, Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya BPH Diponegoro dan melalui Keppres RI No. 087/TK/1973, pada tanggal 6 November 1973, Pemerintah mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber data:

  • https://nationalgeographic.grid.id/read/131768029/sepuluh-fakta-tersembunyi-di-balikganasnya-kecamuk-perang-jawa?page=all
  • http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/perang-diponegoro.html
  • https://economy.okezone.com/read/2014/04/18/471/972361/sejumlah-peristiwabersejarah-yang-terjadi-di-istana-jakarta
  • https://tirto.id/akhir-hidup-diponegoro-napoleon-van-java-cfBz
  • Cerita tutur Trah Basah Mertonegoro – R.Ay. Himpun binti BPH Diponegoro.
  • Peter Carey. 2019. Kuasa Ramalan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Gunawan, Apriyanto, Nana, Yeri, Isodora. 2016. Babad Dipanegara. Yogyakarta: Narasi.
Butuh bantuan?