Jurnal Falsafah Jawa

NYAWIJI 

Sebagai salah satu konsep dalam kehidupan, filosofi “nyawiji” diinisiasi oleh Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Mangkubumi. Beliau lahir pada Tanggal 5 Agustus 1717 & merupakan putra dari Sunan Amangkurat IV dengan Garwa Dalem Mas Ayu Tejawati.

Kelak di kemudian hari, BPH Mangkubumi bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I, raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagai informasi bahwa Sri Sultan HB I merupakan salah satu tokoh yang dikagumi sekaligus menjadi inspirasi perjuangan BPH Diponegoro dalam mengobarkan Perang Sabil melawan Penjajah Belanda.

Selain niat yang lurus, prinsip nyawiji (menyatu/fokus/totalitas dalam suatu hal) sangat diperlukan sebagai dasar untuk mengerjakan sesuatu. Dimulai dari membuat perencanaan yang matang sekaligus mitigasi risiko yang berpotensi terjadi, berikhtiar sungguh-sungguh dalam merealisasikan rencana, berlanjut ke proses evaluasi kerja & menindaklanjuti hasil evaluasi merupakan suatu rangkaian yang terus berkesinambungan.

Untuk mewujudkan harapan/target, biasanya diperlukan strategi dan persiapan yang matang, serta tak jarang melalui pelaksanaan yang kompleks. Jangankan hal-hal yang yang bersifat manajerial, untuk memasak sayur pun diperlukan sikap nyawiji sepenuh hati (& ikhlas). Apabila kita tidak konsentrasi & teledor dalam mengolah bumbu, niatan awal memasak sayur asem, bisa jadi hasilnya malah sayur asem bercitarasa rendang (salah bumbu). Bisa berabe jadinya… he…he…he.

Siapapun yang bersungguh-sungguh (dalam berikhtiar & berdoa), maka insya Allah ia akan mendapatkannya/berhasil. Hal ini bukan hanya sekedar petuah, namun dapat menjadi sebuah penyemangat yang luar biasa untuk kita yang sedang bekerja optimal & diliputi berbagai cobaan hidup. Apapun yang diawali dengan niat baik, berikhtiar secara maksimal & hanya berharap ridho dari Gusti Allah SWT, niscaya kelak akan mendapatkan barokah dunia akherat. Aamiin.

 

Adigang, Adigung, & Adiguno

Dalam falsafah Jawa, dikenal istilah adigang, adigung, adiguna. Adigang dapat diartikan seseorang/kelompok yang memiliki kelebihan kekuatan/kekuasaan/memegang kendali dalam suatu tatanan masyarakat. Adigung bermakna orang yang membanggakan harta, nasab/keturunan, dan keagungan lainnya. Sedangkan adiguna adalah manusia yang membanggakan kecerdasan, kemampuan, serta kepintarannya.

Memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain (kekuasaan, status sosial, harta, ilmu, dll), bukan berarti kita boleh seenaknya membanggakan dan memamerkannya. Adanya kelebihan yang kita miliki bukan untuk disombongkan, karena pada hakekatnya kelebihan tersebut hanyalah sekedar titipan dari Gusti Allah SWT, dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Kekuasaan setinggi bintang, harta duniawi yang berlimpah ruah, kecerdasan yang luar biasa, semua ini akan berakhir dan tak berarti, apabila di depan nama kita tersemat dengan “indah” sebuah gelar kehormatan, yakni Alm. (almarhum/almarhumah).

Agar terhindar dari sifat dan sikap sombong, hendaknya: kita selalu mengingat bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Gusti Allah SWT dan semua yang melekat dalam hidup kita hanyalah amanah/titipan di dunia semata. Selain itu, kita harus senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan, menjaga amal ibadah, berperilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari, dan selalu merasa/ingat bahwa kita sebagai manusia hakekatnya hidup dengan bergelimang banyak dosa. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” – Hadits Riwayat Ath-Thabrani.

Butuh bantuan?