Sri Sultan Hamengku Buwono I

Sri Sultan Hamengku Buwono I
Pendiri sekaligus Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ke-1.

Nama Orang Tua

:

Susuhunan Amangkurat IV & Raden Ayu (R.Ay). Tejawati.

 

Tempat/ Tanggal Lahir

:

Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah/ 5 Agustus 1717.

 

Nama Kecil

:

Bendoro Raden Mas (BRM) Sujana.

 

Nama Dewasa

:

Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Mangkubumi.

 

Gelar

:

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana (HB) Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Setunggal.

 

Wafat

:

Yogyakarta, 24 Maret 1792.

 

Makam

:

Kg.D. (Kagungan Dalem) Kedhaton Kasuwargan Puralaya Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

 

Pengukuhan sebagai Pahlawan nasional

 

:

Keputusan Presiden (Kepres) No. 85/TK/2006P.

Tanggal 10 November 2006.

 

Jejak darah pejuang dan semangat anti kolonialisme diturunkan oleh leluhur Mataram Islam: Sultan Agung Hanyakrakusumo kepada BPH Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan HB I). Sejak kecil, BPH Mangkubumi dididik dengan disiplin, utamanya dalam hal ilmu Agama Islam, olah keprajuritan, ilmu tata kota/arsitek, dll. Seperti dituturkan dalam Serat Cebolek, dalam kesehariannya beliau terkenal shaleh, taat beribadah (selalu sholat lima waktu, rajin puasa Senin Kamis dan mengaji Al Quran.

Selain itu, beliau juga ahli dalam strategi perang, berkuda dan mahir menggunakan berbagai macam senjata, terutama tombak. Berkat kompetensi dan keshalehannya, pada November 1730, beliau diangkat menjadi Pangeran Lurah, dengan gelar BPH Mangkubumi. Pada Tahun 1746, BPH Mangkubumi mengangkat senjata melawan VOC Belanda. Dibantu keponakanya yang bernama RM Said (kelak bergelar Mangkunegoro I), perlawanan ini semakin menjadi-jadi, terutama ketika kakak BPH Mangkubumi, yakni Sunan Paku Buwono II menyerahkan kekuasaan Kerajaan Mataram sepenuhnya kepada Belanda. Karena terus terdesak dan mengalami kerugian yang besar, akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755, Belanda melakukan pembagian kekuasaan (Palihan Nagari) melalui Perjanjian Giyanti. Sejak saat itu, kerajaan Mataram Islam resmi terbagi menjadi 2, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta).

Pada suatu saat, bertempat di Bangsal Prabayeksa, Sri Sultan HB I tengah menimang cicitnya, RM Mustahar (kelak bergelar BPH Diponegoro), putra sulung dari RM Surojo – kelak bergelar Sri Sultan HB III dengan B.R.Ay. Mangkarawati. Di depan istri permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng/Tegalrejo, beliau berkata bahwa anak ini kelak akan membuat kerusakan luar biasa terhadap Belanda, melebihi dari apa yang telah ia lakukan selama Perang Giyanti (Tahun) 1746 s.d. 1755. Adapun hasilnya, hanya Tuhan lah yang mengetahui. Oleh karena itu, anak ini harus engkau (GKR) Hageng) momong dan didik dengan baik dan benar, jangan sampai terpisah dan lepas dari pandanganmu.

Peristiwa ini diungkapkan oleh BPH Diponegoro dalam Babad Diponegoro, Pupuh XIV, Sinom no. 46 s.d. 47:

“…Kangjeng ibu ingkang bekta, prapta ngarsanya sang aji, pinarak neng Prabayeksa, pan lajeng ngiling ngilingi, Jang Sultan ngandika ris, mbok Ratu buyutireku, besuk wruhanira, wus karsaning Hyang Widi, mapan pinasthi iya kinarya lampahan”.

Pan iku luwih lan ingwang, rusake Welanda benjing, wekasan wallahu alam, marma mbok ratu den becik, momong buyutireki, pan mituhu Kangjeng Ratu, marma tan kenging pisah lan kang wayah buyut iki…”.

Sejak itulah, RM Mustahar diasuh oleh nenek buyutnya, GKR Hageng dan tinggal di Puri Tegalrejo. GKR Hageng mendidik RM Mustahar dengan disiplin, utamanya terkait dengan ilmu Agama Islam, ilmu sastra seperti Babad Tanah Jawi, Mahabharata, olah kanuragan, strategi perang, berkuda, pertanian, peternakan, dll. Tumbuh dan berkembang di luar lingkup bangsawan dan dalam pengawasan langsung GKR Hageng, menjadikan RM Mustahar tumbuh menjadi sosok yang relijius,  berkarakter kuat, shaleh, dan dekat dengan rakyat.

Sumber:

 

Butuh bantuan?