- Sumeh (ramah, murah senyum)
Dalam beberapa kesempatan, tentunya kita pernah berinteraksi dengan petugas frontliner/front office (FL/FO), seperti: customer service, teller bank, marketing, receptionist, humas, dll. Sebagai salah satu garda terdepan dalam pelayanan publik, selain dituntut profesional, FL/FO diwajibkan untuk bersikap santun & ramah dalam melayani customer.
Tak peduli:
– Anak/istri/suami/orang tua sedang sakit.
– Ketika tanggal tua, LPG, token listrik & beras di rumah habis bersamaan.
– Tagihan hutang datang beruntun.
Berikut berbagai kondisi yang bikin pusing kepala, seorang FL/FO mesti bersikap suméh (ramah/murah senyum). Terbayang apabila kita berurusan dengan FL/FO yang jutek, cuek & selalu cemberut. Bisa-bisa kita sebagai customer, atau bahkan FL/FO sendiri berpotensi terseret dalam atmosfer percepatan peningkatan “tensi”. Menurut beberapa referensi, apabila kita emosi & memendamnya dalam kurun waktu tertentu, hal ini dapat meningkatkan risiko: melemahnya sistem kekebalan tubuh, stres/depresi, timbulnya berbagai penyakit kronis, dll. Oleh karena itu, sikap sabar, sareh, sumeleh & sumeh sangat diperlukan untuk mengendalikan emosi, perasaan & pikiran negatif. Senyum yang tulus & bersikap ramah kepada sesama merupakan (salah satu dari) tanda mulianya akhlak seseorang. - Sabar
Di dalam mengarungi perjalanan hidupnya, tak jarang Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro berada dalam kondisi yang menuntut untuk bersikap sabar. Pun demikian dengan kehidupan sehari-hari kita, tentunya tak dapat lepas dari berbagai masalah & cobaan dalam takaran yang berbeda (sesuai dengan kapasitas masing-masing).
Sabar, secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai sikap menahan emosi/keinginan/nafsu, serta bertahan dalam kondisi sulit dengan tidak mengeluh. Selain itu, sabar merupakan salah satu keunggulan kompetitif manusia dalam mengendalikan diri sekaligus aktualisasi sebuah sikap yang mencerminkan kekokohan jiwa. Sabar, sebuah kalimat yang singkat namun bermakna dalam. Ringan diucapkan, namun berpotensi banyak “godaan” ketika mengamalkannya. Jadi… seberat apapun cobaan & masalah yang menghadang, tetaplah bersikap sabar. Bukankah Gusti Alloh selalu bersama orang-orang yang sabar? - Sareh
Magelang, 2 Syawal 1245 H/ 28 Maret 1830 M.
Melalui sebuah kamuflase pertemuan bernuansa lebaran, BPH Diponegoro telah dikhianati, disergap & ditangkap. Meski dihadapkan dengan sikap licik Belanda serta londo ireng, dalam kondisi tersudut & diliputi amarah pun beliau memilih bersikap saréh (tenang) dan meminta pengikutnya untuk tetap tenang menahan emosi.
Apa jadinya bila BPH Diponegoro membiarkan suasana menjadi chaos? Dampaknya (bisa jadi-salah satunya) Babad Diponegoro serta beberapa karya tulis lainnya tak akan terlahir dari Bumi Manado dan Bumi Angin Mamiri (Makassar).
Meskipun dalam kondisi tertekan, sebagai seorang pemimpin, BPH Diponegoro sadar bahwa dirinya dituntut untuk selalu mengedepankan rasio berdasar ketenangan jiwa, hasil dari proses olah pikir, olah batin & olah rasa. Dengan mengedepankan sikap saréh, minimal kita dapat berpikir jernih untuk menentukan langkah terbaik. Setiap insan manusia adalah pemimpin (setidaknya pemimpin untuk diri sendiri) & kelak akan diminta pertanggungjawabannya atas setiap detail lisan berikut
perbuatannya. Umur manusia di dunia ini ada batasnya. Tak ada yang mengetahui kapan ajal akan
menjemput. Setelah meninggal dunia, nantinya kita akan dikenang sebagai pribadi yang saréh/tenang/kalem atau sebaliknya, terkenal sebagai orang yang pecicilan (banyak tingkah
dalam konotasi negatif). Sungguh, pilihan itu ada di depan mata (hati). - Sumeleh
Seiring bertiupnya angin dari barat, bertepatan Tanggal 4 Mei 1830 Pukul 05.00 pagi, dengan
menggunakan Pollux, sebuah kapal korvet berukuran 36 x 10 m yang dilengkapi 28 meriam, Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro beserta sebagian pengikutnya berangkat dari Batavia menuju tempat pengasingan di Manado. Setelah melewati perjalanan yang berat, pada surya ke-12, Juni 1830 Pukul 11.00 siang, akhirnya Kapal Pollux tiba di Pelabuhan Manado.
Tak terperikan bagaimana perasaaan BPH Diponegoro ketika pertama kali menjejakkan kaki di Pelabuhan Manado menuju Benteng Niew Amsterdam. Setelah mengarungi berbagai macam badai kehidupan, akhirnya BPH Diponegoro menyandarkan jalan hidupnya dengan berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Alloh.
Suméléh berasal dari kata seleh yang berarti letak (me-letak-kan). Sumeleh dapat diterjemahkan sebagai sikap meletakkan/menempatkan diri untuk berserah kepada Gusti Alloh dalam menghadapi/menunggu/menerima hasil dari sesuatu hal/kondisi. Untuk mencapai tataran sumeleh, biasanya seseorang telah berusaha maksimal untuk melalui tahapan ujian hidup & ketika telah mencapai titik tertentu, beban permasalahan tersebut diselehke (diletakkan) dengan cara melepaskan diri dari ego & jumawanya keakuan. Dengan sumeleh nya jiwa & raga, hal ini menjadikan titik balik BPH Diponegoro untuk terus bergerak ke arah yang lebih positif dan produktif, antara lain dengan dimulainya penulisan Babad Diponegoro.
Sumeleh (berserah diri) kepada Sang Khalik tentunya berbeda dengan menyerah pasrah tanpa ada daya upaya. Sumeleh merupakan aktualisasi dari nilai-nilai tawakal, yakni sebuah bentuk berserah diri menuju puncak keikhlasan tertinggi.